Minggu, 12 Mei 2019

“Tabukah, mungkin ? “


"Mampus Kau ! Dikoyak-koyak pertanyaan, Kapan Nikah?" - Saya kutip kalimat ini di instagram @sabdaperubahan .

Sebenarnya, pertanyaan itu seperti menjelma  kapal pesiar besar yang terus melaut di otak saya. Usia yg tak lagi muda, belum lagi paradigma di usia 20 tahun ke atas perempuan harus sudah menikah menjadi filosofi pertanyaan itu muncul terus di sepanjang hari-hari. Saya tidak menyalahkan siapa pun yang bertanya. Saya tak marah kepada siapa pun yang terus melontarkan kalimat itu seperti sedang menyuap nasi pada mulut dengan perut yang sangat lapar. Aku menerima pertanyaan itu sebagai bagian dari takdirku yang hidup di tengah-tengah budaya menikah muda bahkan menikah di usia dini yang masih banyak.

Bukan hal yang mudah memang hidup dengan rentetan pertanyaan "mengapa belum menikah?". Tapi, bagaimana lagi, batasan-batasan yang berkembang seolah menjadi pemberontak jahat yang terus meruntuhkan pemikiran dan keteguhanku untuk memilih tidak menikah. Belum lagi, campur tangan Tuhan  yang memang teramat sangat  asyik menurutku. Ia yang menanamkannya di hati dan benakku. Ia yang ajarkan rasa sakit yang teramat dalam. Hingga diriku sendiri terkoyak, merana, dan terlontar di ruang yang hanya berisi sakit, takut, serta trauma. Namun, Ia juga yang membuatku terus bimbang, dengan banyak kisah orang lain di sekitarku yang berakhir menyedihkan di masa tua saat memilih tak menikah. Sungguh benar, Ia memang Maha Asyik.

Aku melihat kisah di masa laluku seperti blind spot yang hanya berselisih sekitar 1 mm. Dan menurutku mirip juga dengan kutipan ayat Injil yang disebut pernah disampaikan oleh Jus Soema Dipraja pada Jakob Oetama yang dari menyintir ayat Injil itu kemudian Jakob bersedia bersaksi di PTUN dalam sidang gugatan Goenawan Muhammad dkk, terhadap Mentri Penerangan, Harmoko, setelah pemberedelan majalah Tempo, 21 Juni 1994 (Dikutip dari  buku “Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan”, hal. 5-8). 

“Jadilah merpati di antara para serigala.” 

Jika flash back pada masa aku pernah jatuh cinta, namun kemudian akhir kisah cinta itu tak  seindah cerita-cerita Cinderela. Pastilah, aku tertawa geli. Tak kusangka, aku bisa mentertawakan diriku sendiri dengan sangat lantang. Kebodohan yang teramat manis. Tapi kata "manis" terlalu hiperbola menurutku. Karena, sebenarnya tak manis-manis amet. Ada pahit getirnya juga.

Sekarang aku berada dalam jiwa yang bebas, dan merdeka. Tak satupun yang mampu menahan diriku kecuali kebodohan dan ketakutanku. Perihal jiwa dan ragaku. Kubiarkan saja mereka yang memilih. Kalau kata banyak orang " Kill or to be killed" atau jika ada pilihan ketiga saling memahami dan mengedepankan Aku, dan menjadi silent majority.
Ntahlah, berada dalam dua kalimat itu apakah benar sungguh menyenangkan atau justru malah pura-pura menyenangkan. Aku sendiri tak tau. Walaupun banyak literatur mengatakan itu menyenangkan tapi sekali lagi "Aku tak paham". Aku hanya berjalan ke manapun aku ingin berjalan. Diriku meyakini selama ada Tuhan disitu, pastilah jalanku tak salah.

Pernah suatu ketika jiwa ini berbincang lirih dengan hati. Menceritakan bahwa mungkin jiwa sudah mulai rusak atau bisa jadi sudah gila. Makanya hati harus siap-siap menjadi beku di kemudian hari. Tepatnya, saat cahaya tak lagi ada, dan bintang tak lagi bersinar. Tapi, lagi-lagi itu jikalau. Karena ternyata, benang merah takdirku masih belum juga ketemu. Semuanya masih berjalan. 

Sekali lagi, Mereka bertanya "Kapan kau menikah?" " Kapan nyusul menikah?" “Mengapa belum menikah?”

Tak seperti kebanyakan, yang ada di benakku bukan itu. Tapi, pertanyaan lain yang aku sendiri bingung menjawab dan menjabarkannya. 

Berkaitan dengan pertanyaan “Mengapa belum menikah? “ aku terkadang mengingat Jaysehtty, seorang vlooger dan motivator ternama di Inggris yang berkelahiran India. Melalui akun instagramnya Ia pernah berkata demikian kurang lebih :

Someone graduated at 21, but waited 6 years to get a good job
Someone had no education, but was a millionare at 21
Someone got married at 21, but divorced 5 years later
Someine got married at 30, but found everlasting love
You are not late
You are not early
You are on time

Kita semua tepat waktu, “On time”. Bukan hanya perihal jodoh, tapi untuk hal-hal lain yang berkaitan dengan apa yang kita lakukan di dunia.

Pernah saya membaca Instagram story dari seorang aktor kenamaan Indonesia, Herjunot Ali yang saat itu tengah membalas DM dari followernya, tentang si follower yang sering ditanyai, “Kapan nikah?” “Kenapa belum menikah? dll. Begini jawaban Herjunot Ali, yang jujur bikin saya berkata “ I agree” : 

“Yup. Di sini nikah itu jadi suatu PENCAPAIAN HIDUP YANG LUAR BIASA SEKALI. Seperti tukang gerobak yang hidupnya luntang lantung, tapi punya istri 3 dan anak2 nya hidup susah, jauh dianggap lebih berhasil daripada manusia single, hidupnya mapan dan memilih berhasil secara nyata  dulu dalam kehidupan, sebelum mengambil langkah besar bertanggung jawab membawa kehidupan orang lain ke dalam hidupnya. Yang penting NIKAH dulu ! itu artinya sudah berhasil dan berani ambil resiko !! (buat yang kurang ngerti ini namanya sarkasme).” 

Tulisan ini bukan kemudian saya sampaikan sebagai upaya saya “mengemis” kepada semuanya untuk tidak bertanya perihal MENIKAH itu.Tapi ingin saya tekankan bahwa, menikah atau tidak menikah itu bukan hanya sekedar pilihan tapi juga bagian rahasia waktu yang kita sendiri tak tau bagaimana akhirnya. Mungkin hari ini saya berkata tidak mau menikah, tapi Sang penguasa waktu justru berkata sebaliknya.Atau bisa jadi, hari ini saya sudah berencana menikah, tapi lagi-lagi Sang penguasa waktu berkata lain. 

We never know, so don’t be nosy to another ones life. Just walk on your site, Nobody can be entitled to your life. Just do what you think that is right.

Catatan Waktu, Bondowoso, 11 Mei 2019 (Hari ke enam Ramadan 1440 H)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar