Selasa, 02 April 2019


Teman
Suara pekik kuda dan hentakkan keempat kakinya begitu keras terdengar. Gedebuk … Gedebuk.. Kuda putih berlari kencang. Ya, kuda itu ditunggangi oleh pangeran yang hendak menjemput seorang wanita biasa, tak lain Ia adalah calon permasurinya. Pasangan itu masing-masing bernama, putri Coun Fe Yang, dan pangeran Chen ling. Pasangan muda, tampan dan cantik, pintar, kaya raya, punya banyak teman, rendah hati, dermawan dan sangatlah baik. Dalam pelafalan sederhana manusia, pasangan ini sangatlah serasi dan sempurna.
 “Hei Sarah jangan-jangan kau ini kemasukan jin ifrit bengong aja,” kata Mamak sembari menepuk pundakku yang memang sedang berselingkuh dengan waktu.
Aku yang terkejut sebenarnya kesal bukan kepalang pada Mamakku tercinta.  Namun, apalah daya, aku hanyalah anak berusia 14 tahun yang bertubuh kerempeng, dan paling tak berani pada Mamak. Sekalipun Mamak membuatku kesal, aku hanya bisa diam dan mengumpat dalam hati.
Aku tak suka jika ada yang membuyarkan lamunan kisah dua tokoh yang berdiri dan beralur sesuai keinginanku.
“Mamak ini suka sekali menggangguku,” ujarku ketus.
“Alhamdulillah, Mamak pikir kamu lagi kesurupan. Beruntung jiwa dan ragamu masih menjadi satu,” timpal Mamak.
Mengkhayalkan dua tokoh tak berparas dalam dunia nyata ini, membuatku semakin senang duduk sendiri, tetiduran sendiri, yang dalam kesendirian itu sebenarnya tengah menyusun scenario kisah dua tokoh favorit. Terus terang, Mamak selalu marah kalau memergokiku bersikap demikian. Tak jarang Mamak sering menepuk pundakku sembari membaca surat-surat pendek. Al Fatihah, Al Ikhlas, syahadat, istighfar dan lainnya.
Aku tak punya sahabat, yang menurutku, bisa kupercaya untuk mendengarkan semua hal yang aku bayangkan ini. Yang terjadi aku selalu asyik menyelam dengan duniaku ini. Dunia yang hanya aku yang bisa mengaturnya. Membuatnya sedih, bahagia, atau mungkin penuh amarah.
Suatu ketika aku pernah duduk di bangku sekolah, menangis tersedu-sedu. Isyak, teman sebangkuku mendekatiku, dan berbisik, “ Sarah, kau kenapa? Sejak tadi menangis, apa kau sakit?,” kata Isyak kebingungan.
“Tak apa Isyak. Bisakah kau meninggalkanku sendiri,” pintaku lirih.
Semua teman pun meninggalkanku saat jam istirahat. Aku duduk termangu, sembari mengusap air mataku. Dan saat itu betapa kagetnya aku, terdengar samar-samar suara memanggil nama tokoh wanita yang ada di kepalaku.
“Tuan putri Coun Fe Yang. Tuan Putri, tuan putri,” terdengar samar.
Aku bingung. Aku sedang tidak membuat scenario. Aku sedang terdiam dalam kebisuan dan kelengangan ruang kelasku yang berukuran sekitar 4x2 meter itu. Hanya ada bangku dan meja yang berderet-deret. Papan tulis hitam yang masih berbekas tulisan Guru Bahasia Indonesiaku tentang macam-macam majas.
Sembari menjewer teligaku sendiri, aku memastikan bahwa aku mendengarnya. Aku menoleh ke samping kanan, kiri, depan, belakang. Tak seorang pun ada di sana. Aku lihat ke dinding hanya ada dua ekor cicak, yang entah apakah sedang berbincang atau justru berlomba menyantap serangga yang bergerak-gerak lincah di sekitar mereka.
“Tuan Putri Coun Fe Yang, tuan putri, tuan putri,” suara itu terdengar lagi. Bulu kudukku berdiri, aku yakin ini pasti suara hantu di pohon nangka dekat kelasku.
“Tapi bagaimana bisa hantu mengetahui isi kepalaku. Apakah hantu ini diam-diam suka memperhatikanku,” gumamku dihati.
Aku berdiam sejenak. Bukan hanya memerhatikan sekeliling, namun menelisik dengan teliti pohon nangka yang berada tepat di samping jendela kelasku. Aku lihat dengan seksama sembari menjulur-julurkan kepalaku untuk melihat akarnya. Tapi tak kutemui keanehan macam yang aku dengar dari teman-temanku kala bercerita pohon nangka tak berdosa ini.
Suara bel masuk kelas berbunyi. Suara lembut yang memanggil nama putri yang aku ciptakan itu pun hilang. Hanya sayup-sayup terdengar suara teman sekelasku yang satu persatu mulai memasuki kelas. Tak terkecuali Isyak.
“Haduh, aku sebel deh. Masak tadi beli bakso mie kuning kehabisan,” kata Isyak yang datang ke arahku. 
“Lah, kamu biasanya yang pertama. Tumben kehabisan,” timpalku.
“Apes gara-gara Haris tuh, anak kelas 8A, yang nanyain kamu melulu. Kenapa sih Sarah kamu tolak Haris? Nakal sih anaknya, tapi kan bisa kamu ubah jadi baik ntar,” kata wanita berkulit hitam ini padaku.
“Sudahlah. Tak usah ngomongin orang nggak jelas. Kamu juga tumben mau aku menerimanya. Biasanya paling males ngomongin dia,” godaku.
“Sebel aja. Tiap ketemu yang ditanyain kau melulu. Eh iya, kamu udah nggak papa kan Sarah ? tadi aku sebenarnya khawatir, tapi karena kamu minta sendiri, jadi aku nggak bisa apa-apa,”.
“Santai aja. Aku baik-baik aja kok. Oh iya bentar lagi Pak Selamet nih, ulangan Ekonomi. Yuk belajar,” ajakku pada Isyak.
Hari-hariku semakin aneh. Aku semakin bisa mendengarkan sesuatu yang hanya aku mendengarnya. Semula aku pikir, ini karena hanya aku yang terlalu masuk ke dalam khayalanku. Tapi semakin menjadi-jadi. Aku bahkan bisa berincang dengan mahluk yang tampak mengerikan sekali.
Sesekali aku berbicara dengan daun-daun yang sedang bergoyang. Ataupun berbicara dengan gunung yang hanya diam terpaku. Bisa juga berbincang dengan bulan. Menariknya aku juga bisa mendengar tangisan ulat bulu yang kadang disentil oleh temanku yang geli melihatnya bergelut-gelut di meja kelas.
Disini aku memiliki teman baru. Teman yang seterusnya aku panggil, Ara. Sahabat baruku yang hanya bisa dilihat olehku.
Suara yang terdengar saat aku sendiri di kelas  beberapa waktu lalu itu, ternyata adalah suara Ara. Dia mencoba memanggilku dengan nama-nama yang katanya sebenarnya adalah namaku. Semula memang membingungkan, tapi aku percaya padanya. Karena Ara selalu menjadi yang paling lantang menjawabku di kala aku sedang ingin berdiskusi tentang malam, pagi, siang dan sore.
Termasuk bercerita tentang Pangeran Chen Ling, yang tak lain sebenarnya juga adalah pangeran di sebuah negeri yang dikenal dengan dunia yang tak ada cahaya sedikit pun. Berkat Ara, aku pun bertemu  dengan Pangeran Cen Ling itu. Parasnya sungguh tak jauh berbeda dengan apa yang selama ini ada di benakku. Rambutnya hitam yang tampak cocok dengan model belah tengah. Wajahnya lonjong, dengan hidung mancung, dan paras wajah itu sungguh rupawan.
Mereka berdua selalu bercerita tentang dunia yang mereka sebut “rumah”.  Di rumah tersebut ada banyak mahluk yang bisa ditemui. Ada yang tak bermata, ada pula yang justru memiliki gigi lebih dari seharusnya. Tak sedikit juga yang justru tak berwajah, tak berkepala, dan tak bertelinga. Sebagian dari mereka ada yang menyembah malam, ada yang hanya suka diam termangu dan hanya membawa pertanyaan sepanjang keberadaannya. Aku takut sebenarnya, tapi aku menyadari bahwa aku dekat dengan mereka. Sejak bersama mereka, sikapku yang sering kepergok termenung, atau berbicara sendiri perlahan menjadi hilang. Penyebabnya, mereka akan segera menepuk pundakku kalan teman-teman, atau anggota keluargaku memeprhatikanku. Perlahan, aku terbiasa seperti temanku yang lain, dan tahu dengan pasti dimana dan kapan bisa berbincang bebas tanpa heboh dengan pandangan orang lain. Apalagi, mereka berdua sekarnag menjadi alarm, dan CCTku.
“Untuk apa kau takut, itu rumahmu juga Tuan Putri Coun fe Yang,” ujar Ara.
“Kenapa kalian berdua sering memanggilku dengan Putri Coun Fe Yang,” tanyaku penasaran.
“Karena kau adalah Putri Coun Fe Yang. Kematian yang pasti dan kesunyian yang kekal. Aku adalah bagian dari kematian dan kesunyianmu. Karena aku dan dirimu, Coun Fe Yang, diciptakan sepasang,” kata Chen Ling.
Aku hanya termangu. Tak memahami apa yang disampaikan oleh mereka. Setiap kali aku bertanya pertanyaan yang sama, jawaban mereka pun selalu seperti itu.
“Bisakah kalian memberi jawaban yang berbeda. Lebih sederhana. Agar aku tak selalu menanggapi jawaban kalian dengan diam,” ketusku.
Tak ada jawaban lagi.
Setiap waktu kami selalu diisi dengan begitu banyak cerita, tawa, dan bahkan air mata. Hingga aku tak menyadari bahwa waktuku sudah kurang beberapa bulan lagi untuk meninggalkan seragam putih biru itu.
Aku akan lulus.
Hari itu begitu cerah. Tapi jantungku berdegup begitu kencang, dan keringat terus bercucuran di keningku. Sesekali ku usap dengan baju, dan kadang sesekali Ara, dan Chen ling membantu mengelapnya dengan tangan meraka. Tapi, bagaimana mereka tidak bisa menyentuhku. Ya, tetaplah aku yang mengelap keringatku sendiri. Mereka duduk tepat di samping kanan dan kiriku.
Mamak pun mondar-mandir di hadapan kami. Ketegangan di antara kami bermepat sungguh luar biasa. Hari itu, kami tengah menunggu mobil kantor pos yang akan mengtar surat kelulusanku.
Ara sesekali bangkit dari duduknya. Mbak manusia, ia pun memsang wajah khawatir, luka menganag di wajahnya begitu jelas. Dia menunjukkan sisi lainnya ketika cemas. Aku tak takut sedikit pun, mungkin karena sudah sering melihatnya. Berbeda dengan Chen Ling yang memang sejak dulu mampu menyimpan sisi gelapnya dariku khususnya.
“Sarah, Sarah, itu Pak Pos, mobilnya warna orange,” kata Mamak.
Aku pun bergegas, tak terkecuali Chen Ling dan Ara. Kami menghampiri mobil yang memang terparkir di depan gank rumahku. Aku pun menerima sepucuk curat yang terbungkus rapi dengan amplop berwarna putih. Tertulis disana , “Kepada : Sarah Agustin Winandar”.
Aku tak berani membuka amplop tersebut. Jadi aku berikan itu pada Mamak. Sementara Ara dan Chen Ling, justru memelukku begitu erat. Seolah, mencoba tengah menguatkanku.
“Selamat Saraaahhh, anak Mamak lulus,” kata Mamak girang. Seketika itu, kami semua saling merangkul.
“Sarah kenapa mamak seperti ada yang peluk-peluk. Padahal kan Mamak sedang peluk Kau,” kata mamak meringding.
“Ah perasaan mamak saja,” kataku. Padahal saat itu, Chen Ling dan Ara juga ikut memeluk, dan merangkul kami.
Aku tak tau bahwa hari kelulusanku yang penuh dengan air mata bahagia justru akan menjadi perpisahanku bersama dua sahabatku itu. Ntah kemana perginya mereka, pasca kami saling merangkul mereka pun menghilang.
Semula aku pikir, mereka pulang ke rumah mereka. Dan akan muncul di hari ke dua atau ke tiga setelah pulang.seperti biasanya yang mereka lakukan.  Tapi ternyata, hingga hari ke lima mereka tak muncul.
Aku coba memanggil mereka. Mendatangi tempat-tempat yang biasa kami datangi bersama. Di bawah pohon nangka, di pinggiran sawah dekat sekolahku, ke lokasi DAM air yang jauh dari pemukiman warga. Semuanya aku datangi.
Aku bingung. Aku coba bertanya pada sejumlah teman-teman yang pernah mereka kenalkan padaku. Tapi, nihil. Tak seorang pun mengetahuinya.
Mereka hilang.
Aku tak tahu harus mencari mereka kemana dan bagaimana lagi. Aku sedih, tentu dan pasti. Hanya karena banyaknya kegiatan yang harus aku ikuti di awal SMA membuatku bisa menghilangkan kesedihan itu.
Hingga tahun ke tiga aku menempuh pendidikan, mereka tak kunjung muncul. Di sekolahku yang baru, sebenarnya sejumlah hantu datang, dan mencoba berkomunikasi denganku. Namun, aku bersikap dingin. Aku bersikap seolah aku buta, tuli, dan bisa pada mereka.
“Aku tau mereka menatapku. Tapi tau kah kalian, Ara dan Chen Ling. Semuanya terlalu menggebu, aku tak tau kenapa kalian pergi. Setidaknya, temui aku sekali saja dan sampaikan alasan kalian harus pergi. Jika kalian menghilang seperti ini, aku bingung. Aku sedih,” gumamku di hati.
“Hai kamu… “ suara itu terdengar jelas, aku tau itu bukan suara Ara atau pun Chen Ling. Aku hafla betul suara mereka. Karena itulah, aku bersikap seolah tak mendengar. 
“Aku tau kau mendengarku. Aku tau kan Coun fe Yang,” katanya.
Aku terkejut, bagaimana mungkin, dia tau nama itu. Hanya Chen Ling, Ara, dan aku yang tahu nama itu.
“Siapa kau ? kenapa tau nama itu,? “ tanyaku menggebi-gebu, sembari mencaricari sumber suara itu.
“Aku.. ? aku kan kau. Kau kan aku,” katanya.
Aku bingung, aku mencari sumber suara itu. Tapi sekali lagi, hilang.


Bondowoso, 2 April 2019
Ocha Ari Pangistu. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar