Teman
Suara pekik kuda dan hentakkan keempat kakinya begitu keras
terdengar. Gedebuk … Gedebuk.. Kuda putih berlari kencang. Ya, kuda itu
ditunggangi oleh pangeran yang hendak menjemput seorang wanita biasa, tak lain
Ia adalah calon permasurinya. Pasangan itu masing-masing bernama, putri Coun Fe
Yang, dan pangeran Chen ling. Pasangan muda, tampan dan cantik, pintar, kaya
raya, punya banyak teman, rendah hati, dermawan dan sangatlah baik. Dalam pelafalan
sederhana manusia, pasangan ini sangatlah serasi dan sempurna.
“Hei Sarah jangan-jangan
kau ini kemasukan jin ifrit bengong aja,” kata Mamak sembari menepuk pundakku
yang memang sedang berselingkuh dengan waktu.
Aku yang terkejut sebenarnya kesal bukan kepalang pada
Mamakku tercinta. Namun, apalah daya,
aku hanyalah anak berusia 14 tahun yang bertubuh kerempeng, dan paling tak
berani pada Mamak. Sekalipun Mamak membuatku kesal, aku hanya bisa diam dan
mengumpat dalam hati.
Aku tak suka jika ada yang membuyarkan lamunan kisah dua
tokoh yang berdiri dan beralur sesuai keinginanku.
“Mamak ini suka sekali menggangguku,” ujarku ketus.
“Alhamdulillah, Mamak pikir kamu lagi kesurupan. Beruntung
jiwa dan ragamu masih menjadi satu,” timpal Mamak.
Mengkhayalkan dua tokoh tak berparas dalam dunia nyata ini,
membuatku semakin senang duduk sendiri, tetiduran sendiri, yang dalam kesendirian
itu sebenarnya tengah menyusun scenario kisah dua tokoh favorit. Terus terang, Mamak
selalu marah kalau memergokiku bersikap demikian. Tak jarang Mamak sering
menepuk pundakku sembari membaca surat-surat pendek. Al Fatihah, Al Ikhlas, syahadat,
istighfar dan lainnya.
Aku tak punya sahabat, yang menurutku, bisa kupercaya untuk
mendengarkan semua hal yang aku bayangkan ini. Yang terjadi aku selalu asyik
menyelam dengan duniaku ini. Dunia yang hanya aku yang bisa mengaturnya.
Membuatnya sedih, bahagia, atau mungkin penuh amarah.
Suatu ketika aku pernah duduk di bangku sekolah, menangis
tersedu-sedu. Isyak, teman sebangkuku mendekatiku, dan berbisik, “ Sarah, kau
kenapa? Sejak tadi menangis, apa kau sakit?,” kata Isyak kebingungan.
“Tak apa Isyak. Bisakah kau meninggalkanku sendiri,” pintaku
lirih.
Semua teman pun meninggalkanku saat jam istirahat. Aku duduk
termangu, sembari mengusap air mataku. Dan saat itu betapa kagetnya aku,
terdengar samar-samar suara memanggil nama tokoh wanita yang ada di kepalaku.
“Tuan putri Coun Fe Yang. Tuan Putri, tuan putri,” terdengar
samar.
Aku bingung. Aku sedang tidak membuat scenario. Aku sedang
terdiam dalam kebisuan dan kelengangan ruang kelasku yang berukuran sekitar 4x2
meter itu. Hanya ada bangku dan meja yang berderet-deret. Papan tulis hitam
yang masih berbekas tulisan Guru Bahasia Indonesiaku tentang macam-macam majas.
Sembari menjewer teligaku sendiri, aku memastikan bahwa aku
mendengarnya. Aku menoleh ke samping kanan, kiri, depan, belakang. Tak seorang pun
ada di sana. Aku lihat ke dinding hanya ada dua ekor cicak, yang entah apakah sedang
berbincang atau justru berlomba menyantap serangga yang bergerak-gerak lincah
di sekitar mereka.
“Tuan Putri Coun Fe Yang, tuan putri, tuan putri,” suara itu
terdengar lagi. Bulu kudukku berdiri, aku yakin ini pasti suara hantu di pohon nangka
dekat kelasku.
“Tapi bagaimana bisa hantu mengetahui isi kepalaku. Apakah
hantu ini diam-diam suka memperhatikanku,” gumamku dihati.
Aku berdiam sejenak. Bukan hanya memerhatikan sekeliling,
namun menelisik dengan teliti pohon nangka yang berada tepat di samping jendela
kelasku. Aku lihat dengan seksama sembari menjulur-julurkan kepalaku untuk
melihat akarnya. Tapi tak kutemui keanehan macam yang aku dengar dari
teman-temanku kala bercerita pohon nangka tak berdosa ini.
Suara bel masuk kelas berbunyi. Suara lembut yang memanggil
nama putri yang aku ciptakan itu pun hilang. Hanya sayup-sayup terdengar suara
teman sekelasku yang satu persatu mulai memasuki kelas. Tak terkecuali Isyak.
“Haduh, aku sebel deh. Masak tadi beli bakso mie kuning
kehabisan,” kata Isyak yang datang ke arahku.
“Lah, kamu biasanya yang pertama. Tumben kehabisan,”
timpalku.
“Apes gara-gara Haris tuh, anak kelas 8A, yang nanyain kamu
melulu. Kenapa sih Sarah kamu tolak Haris? Nakal sih anaknya, tapi kan bisa
kamu ubah jadi baik ntar,” kata wanita berkulit hitam ini padaku.
“Sudahlah. Tak usah ngomongin orang nggak jelas. Kamu juga
tumben mau aku menerimanya. Biasanya paling males ngomongin dia,” godaku.
“Sebel aja. Tiap ketemu yang ditanyain kau melulu. Eh iya,
kamu udah nggak papa kan Sarah ? tadi aku sebenarnya khawatir, tapi karena kamu
minta sendiri, jadi aku nggak bisa apa-apa,”.
“Santai aja. Aku baik-baik aja kok. Oh iya bentar lagi Pak
Selamet nih, ulangan Ekonomi. Yuk belajar,” ajakku pada Isyak.
Hari-hariku semakin aneh. Aku semakin bisa mendengarkan
sesuatu yang hanya aku mendengarnya. Semula aku pikir, ini karena hanya aku
yang terlalu masuk ke dalam khayalanku. Tapi semakin menjadi-jadi. Aku bahkan
bisa berincang dengan mahluk yang tampak mengerikan sekali.
Sesekali aku berbicara dengan daun-daun yang sedang
bergoyang. Ataupun berbicara dengan gunung yang hanya diam terpaku. Bisa juga
berbincang dengan bulan. Menariknya aku juga bisa mendengar tangisan ulat bulu
yang kadang disentil oleh temanku yang geli melihatnya bergelut-gelut di meja
kelas.
Disini aku memiliki teman baru. Teman yang seterusnya aku
panggil, Ara. Sahabat baruku yang hanya bisa dilihat olehku.
Suara yang terdengar saat aku sendiri di kelas beberapa waktu lalu itu, ternyata adalah suara
Ara. Dia mencoba memanggilku dengan nama-nama yang katanya sebenarnya adalah
namaku. Semula memang membingungkan, tapi aku percaya padanya. Karena Ara
selalu menjadi yang paling lantang menjawabku di kala aku sedang ingin
berdiskusi tentang malam, pagi, siang dan sore.
Termasuk bercerita tentang Pangeran Chen Ling, yang tak lain
sebenarnya juga adalah pangeran di sebuah negeri yang dikenal dengan dunia yang
tak ada cahaya sedikit pun. Berkat Ara, aku pun bertemu dengan Pangeran Cen Ling itu. Parasnya sungguh
tak jauh berbeda dengan apa yang selama ini ada di benakku. Rambutnya hitam
yang tampak cocok dengan model belah tengah. Wajahnya lonjong, dengan hidung
mancung, dan paras wajah itu sungguh rupawan.
Mereka berdua selalu bercerita tentang dunia yang mereka
sebut “rumah”. Di rumah tersebut ada
banyak mahluk yang bisa ditemui. Ada yang tak bermata, ada pula yang justru
memiliki gigi lebih dari seharusnya. Tak sedikit juga yang justru tak berwajah,
tak berkepala, dan tak bertelinga. Sebagian dari mereka ada yang menyembah
malam, ada yang hanya suka diam termangu dan hanya membawa pertanyaan sepanjang
keberadaannya. Aku takut sebenarnya, tapi aku menyadari bahwa aku dekat dengan
mereka. Sejak bersama mereka, sikapku yang sering kepergok termenung, atau
berbicara sendiri perlahan menjadi hilang. Penyebabnya, mereka akan segera
menepuk pundakku kalan teman-teman, atau anggota keluargaku memeprhatikanku.
Perlahan, aku terbiasa seperti temanku yang lain, dan tahu dengan pasti dimana
dan kapan bisa berbincang bebas tanpa heboh dengan pandangan orang lain. Apalagi,
mereka berdua sekarnag menjadi alarm, dan CCTku.
“Untuk apa kau takut, itu rumahmu juga Tuan Putri Coun fe
Yang,” ujar Ara.
“Kenapa kalian berdua sering memanggilku dengan Putri Coun
Fe Yang,” tanyaku penasaran.
“Karena kau adalah Putri Coun Fe Yang. Kematian yang pasti dan
kesunyian yang kekal. Aku adalah bagian dari kematian dan kesunyianmu. Karena
aku dan dirimu, Coun Fe Yang, diciptakan sepasang,” kata Chen Ling.
Aku hanya termangu. Tak memahami apa yang disampaikan oleh
mereka. Setiap kali aku bertanya pertanyaan yang sama, jawaban mereka pun
selalu seperti itu.
“Bisakah kalian memberi jawaban yang berbeda. Lebih
sederhana. Agar aku tak selalu menanggapi jawaban kalian dengan diam,” ketusku.
Tak ada jawaban lagi.
Setiap waktu kami selalu diisi dengan begitu banyak cerita,
tawa, dan bahkan air mata. Hingga aku tak menyadari bahwa waktuku sudah kurang
beberapa bulan lagi untuk meninggalkan seragam putih biru itu.
Aku akan lulus.
Hari itu begitu cerah. Tapi jantungku berdegup begitu
kencang, dan keringat terus bercucuran di keningku. Sesekali ku usap dengan
baju, dan kadang sesekali Ara, dan Chen ling membantu mengelapnya dengan tangan
meraka. Tapi, bagaimana mereka tidak bisa menyentuhku. Ya, tetaplah aku yang
mengelap keringatku sendiri. Mereka duduk tepat di samping kanan dan kiriku.
Mamak pun mondar-mandir di hadapan kami. Ketegangan di
antara kami bermepat sungguh luar biasa. Hari itu, kami tengah menunggu mobil
kantor pos yang akan mengtar surat kelulusanku.
Ara sesekali bangkit dari duduknya. Mbak manusia, ia pun
memsang wajah khawatir, luka menganag di wajahnya begitu jelas. Dia menunjukkan
sisi lainnya ketika cemas. Aku tak takut sedikit pun, mungkin karena sudah
sering melihatnya. Berbeda dengan Chen Ling yang memang sejak dulu mampu
menyimpan sisi gelapnya dariku khususnya.
“Sarah, Sarah, itu Pak Pos, mobilnya warna orange,” kata
Mamak.
Aku pun bergegas, tak terkecuali Chen Ling dan Ara. Kami menghampiri
mobil yang memang terparkir di depan gank rumahku. Aku pun menerima sepucuk
curat yang terbungkus rapi dengan amplop berwarna putih. Tertulis disana , “Kepada
: Sarah Agustin Winandar”.
Aku tak berani membuka amplop tersebut. Jadi aku berikan itu
pada Mamak. Sementara Ara dan Chen Ling, justru memelukku begitu erat. Seolah,
mencoba tengah menguatkanku.
“Selamat Saraaahhh, anak Mamak lulus,” kata Mamak girang.
Seketika itu, kami semua saling merangkul.
“Sarah kenapa mamak seperti ada yang peluk-peluk. Padahal
kan Mamak sedang peluk Kau,” kata mamak meringding.
“Ah perasaan mamak saja,” kataku. Padahal saat itu, Chen
Ling dan Ara juga ikut memeluk, dan merangkul kami.
Aku tak tau bahwa hari kelulusanku yang penuh dengan air
mata bahagia justru akan menjadi perpisahanku bersama dua sahabatku itu. Ntah
kemana perginya mereka, pasca kami saling merangkul mereka pun menghilang.
Semula aku pikir, mereka pulang ke rumah mereka. Dan akan
muncul di hari ke dua atau ke tiga setelah pulang.seperti biasanya yang mereka
lakukan. Tapi ternyata, hingga hari ke
lima mereka tak muncul.
Aku coba memanggil mereka. Mendatangi tempat-tempat yang
biasa kami datangi bersama. Di bawah pohon nangka, di pinggiran sawah dekat
sekolahku, ke lokasi DAM air yang jauh dari pemukiman warga. Semuanya aku
datangi.
Aku bingung. Aku coba bertanya pada sejumlah teman-teman
yang pernah mereka kenalkan padaku. Tapi, nihil. Tak seorang pun mengetahuinya.
Mereka hilang.
Aku tak tahu harus mencari mereka kemana dan bagaimana lagi.
Aku sedih, tentu dan pasti. Hanya karena banyaknya kegiatan yang harus aku
ikuti di awal SMA membuatku bisa menghilangkan kesedihan itu.
Hingga tahun ke tiga aku menempuh pendidikan, mereka tak
kunjung muncul. Di sekolahku yang baru, sebenarnya sejumlah hantu datang, dan
mencoba berkomunikasi denganku. Namun, aku bersikap dingin. Aku bersikap seolah
aku buta, tuli, dan bisa pada mereka.
“Aku tau mereka menatapku. Tapi tau kah kalian, Ara dan Chen
Ling. Semuanya terlalu menggebu, aku tak tau kenapa kalian pergi. Setidaknya,
temui aku sekali saja dan sampaikan alasan kalian harus pergi. Jika kalian
menghilang seperti ini, aku bingung. Aku sedih,” gumamku di hati.
“Hai kamu… “ suara itu terdengar jelas, aku tau itu bukan
suara Ara atau pun Chen Ling. Aku hafla betul suara mereka. Karena itulah, aku
bersikap seolah tak mendengar.
“Aku tau kau mendengarku. Aku tau kan Coun fe Yang,”
katanya.
Aku terkejut, bagaimana mungkin, dia tau nama itu. Hanya
Chen Ling, Ara, dan aku yang tahu nama itu.
“Siapa kau ? kenapa tau nama itu,? “ tanyaku menggebi-gebu,
sembari mencaricari sumber suara itu.
“Aku.. ? aku kan kau. Kau kan aku,” katanya.
Aku bingung, aku mencari sumber suara itu. Tapi sekali lagi,
hilang.
Bondowoso, 2 April 2019
Ocha Ari Pangistu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar