Rabu, 08 Mei 2024
Keluar dari Comfort Zone, Mantan Wartawan Kini Sukses Jadi Distributor Sari Roti Terbesar ke 2 Nasional
Rabu, 01 Mei 2024
SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN
Aku terbangun dari lelap
tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam
di dinding kamar dengan gambar seorang polisi dan istrinya, lengkap berlatar
kantor polisi. Senyum ibu Bhayangkari itu manis, lebih-lebih seragam merah mudanya
yang menambah kesan anggun.
Iya, jam dinding di
kamarku adalah buah tangan dari pisah sambut Kapolres di wilayah tempat ku
tinggal. Di jam itu aku melihat jarum panjang berada di angka enam, dan jarum
yang lebih pendek berada di angka satu. Sementara, jarum yang paling pendek
terus bergerak melewati angka demi angka.
Aku menengok sekeliling.
Tak ada siapa pun. Kecuali, guling, dan selimut tebal yang berada di sebelah
kanan ku bersandar. Mungkin aku terlelap hingga lupa tak ku kenakan selimut.
Ku tundukkan kepala.
Sunyi. Tak terdengar suara ibu, atau pun bapakku melantunkan kata "Bangun,
bangun, mau sholat subuh,".
Hanya sesekali terdengar
suara tikus yang tengah bermain kegirangan. Mungkin, karena tuan rumahnya sedang
belajar mati. Jadinya, mungkin juga mereka berpikir, tuan rumah tak akan dengar
meski tikus-tikus menari atau pun terjun bebas dari satu wajan ke panci yang
lain. Dari satu piring ke gelas yang lain. Dari beberapa tempe ke tahu dan
sayur yang lain. Baiklah, itu sisa makanan.
Aku yang menundukkan
kepala. Sesegara itu bangun, menuju kamar mandi.
"Aku mau
kencing," kataku.
Tapi ulu hatiku luar
biasa nyeri. Baru beranjak dari tempat tidur. Kemudian aku duduk jongkok dengan
memegang ulu hatiku.
Duh, tikus-tikus lagi
bermain. Bisa jadi mereka sedang bermain polisi dan maling. Sedang
bekejar-kejaran. Atau mereka tengah menari lagu Joko Tingkir, wes, wes, ojo
dipikir.
Aku tertelungkup di
lantai. Sepertinya jongkok sudah bukan jawabannya. Menghilangkan nyeri ini
haruslah tertelungkup, tersungkur sembari menekan ulu hati.
Tak sampai aku bangunkan
keluarga ku. Seharian mereka sudah lelah. Mengejar matahari, menabur benih
harapan, bahkan berkeliling melakukan pemujaan.
"100, 99, 98, 97,
96, 95, 94, 93, 92, ...." aku hitung mundur dari angka seratus.
Mulutku komat-kamit
menghitung angka. Tapi kepalaku sedang bermain-main dengan kata-kata.
"Gimana sih kau
ini, baru saja memejamkan mata, tak sampai satu jam lalu. Sekarang sudah
bangun," kata otakku pada diriku sendiri.
Seringkali hitunganku
berhenti pada angka 60.Tapi, sudah berulang lima hingga enam kali.
Baiklah, jika
dikonversikan dengan menit maka, (100x5) - 60 = 440 hitungan. Kemudian 440
; 60 detik = 7 menit 20 detik. Begitu ya.
Sepekan sudah berlalu.
Sesekali kondisi ini terjadi ketika ada orang. Aku yang tak bisa menyembunyikan
itu hanya bisa tertelungkup. Membuat orang di sekitar khawatir. Atau malah,
mendatangiku.
"Tolong ambilkan
obat lambungku, Mylanta cair di jok sepeda," kataku minta tolong.
Baiklah, sepekan ini
minum Mylanta sudah seperti minum jus nangka. Diseruput saja.
------------------------------
Wanita dewasa berbadan langsing. Kulit kuning langsat. Rambut lurus, tapi tak
tebal. Alis tebal, jadi tak perlu membeli pensil alis Viva, yang kalau kata
Bunda Corla, sangat berharga untuk menyempurnakan alis yang tipis.
Tak suka makan pedas.
Tak suka makan manis. Tapi, suka sekali makan buah yang kecut. Selera makannya
aneh. Minum es campur, hanya gula satu sendok masih terasa manis sekali
katanya. Jadi masih dicampur air satu gelas.
"Baiklah, lampu di
depan gang rumah sudah mati. Dan sudah diganti. Senja yang jingga pun berubah
menjadi gelap. Semuanya akan berubah pada waktunya. Dan waktu tak akan berhenti
walau sedetik meski pun semua berubah," kataku pada diri sendiri.
Datanglah seorang lelaki
menghampiriku. Rambutnya keriting, kulitnya putih, badannya tak terlalu tegap.
Lelaki mager, yang tiap kali ku ajak olahraga selalu beralasan "Aku adalah
pengagum ketenangan,".
Ingin kutampar rasanya.
Karena, lelaki yang kalau boleh memilih kemana-mana dia pakai boxer bergambar
SpongeBob itu, sangat malas bergerak.
Dia perdengarkan sebuah
lagu. Datang membawa headset nirkabel. Dia pasangkan ke telingaku.
Terdengar lirik lagu
yang membuatku tak kuasa. Dan hanya memegang kursi kayu tempat kami berdua
duduk.
Some people want it all
But I don't want nothing at all
If it ain't you, baby
If I ain't got you, baby
Some people want diamond rings
Some just want everything
But everything means nothing
If I ain't got you, yeah
Kami berdua pun
mengikuti lirik demi lirik lagu itu. Bedanya, suaranya merdu. Suaraku parau
bercampur air asin yang ke luar dari mataku.
"Ini lagu kita.
Tapi, saat ini mungkin lebih tepat lagu ini untukmu," katanya padaku.
Aku hanya menundukkan
kepala. Sesekali ku garuk ibu jariku.
"Brengsek,"
kataku dalam hati.
"Dasar kau si boxer
SpongeBob yang suka benar. Aku tak suka. Diam," kataku padanya.
Dia menyeringai, sembari
mengeklik tombol player musiknya. Agar If Ain't Got You by Alicia Keys ini
terus terdengar di telingaku dengan bantuan headset nirkabel miliknya.
"Sudah waktunya
pulang. Senja tak boleh muncul sehari penuh," begitu katanya.
"Tunggu, sebelum
pulang Aku ingin mendengarkan lagu Billie Eilish, No Time To Die," kataku
padanya.
Ia pun putarkan lagu itu
hingga tuntas. Sekali lagi kami bernyanyi bersama.
Was I stupid to love
you?
Was I reckless to help?
Was it obvious to everybody else
You were never on my side
Fool me once, fool me twice
Are you death or paradise?
Now you'll never see me cry
There's just no time to die