Kamis, 19 Agustus 2021

 

Rumah Mata Hati

 

Anak laki-laki sekira umur 10 tahun tengah mengayunkan kakinya yang melayang di atas lantai. Sementara tangannya sedang sibuk memencet tombol-tombol kecil yang ada di layar gawainya.

 

Sesekali anak itu menyeringai pelan, kemudian bersandar pada kursi kayu bercat putih dengan panjang sekitar 1x0,5 meter.

 

Ia berkaos putih bertuliskan 'Anak Mama', celana pendek coklat, sandal swallow putih berliris hijau.  Sementara ibunya, berkaos lengan panjang dengan warna hijau muda senada, tengah mondar-mandir. Dia berkata pada anaknya.

 

"Leh, Mama masih mau lihat papa. Tunggu ya, itu berkasnya jangan sampai hilang," katanya sembari berlalu hilang melewati pintu putih.

 

Selang beberapa menit kemudian, ibu itu keluar sembari membopong lelaki tua dengan celana pendek. Tangannya gemetar, dan jalannya pincang. Wanita itu tak sendiri, dia bersama seorang perawat membopong lelaki tua itu.

 

"Leh, kursi rodanya disiapkan," pintanya.

 

Pemuda tadi pun bergegas mematikan gawai, dan mendorong kursi roda untuk papanya.

 

Di sebelah anak itu berjarak sekitar dua ubin, ada seorang lelaki tua, bermata sipit, perut buncit, rambutnya tipis sekali hingga kulit kepalanya pun bersinar saat terkena sinar lampu, wajahnya pucat.

 

Ia duduk pasrah, dan tubuhnya lunglai. Menunggu laki-laki yang wajahnya mirip dengannya namun lebih muda, untuk mendorongnya di kursi roda berwarna hitam itu.

 

Mungkin mereka anak dan ayah, karena ku dengar  lelaki yang berdiri tegak di samping kursi roda itu memanggilnya dengan sebutan papa.

 

Di arah jam sembilan, seorang lelaki paruh baya  sedang berjalan sembari memegang tongkat tiga kaki dengan mengenakan jaket jins berwarna abu-abu.

 

Mungkin dia ingin tetap terlihat seperti Koes Plus yang sedang bernyanyi lagu andalannya berjudul 'Kolam Susu'. Sayang, ia tak mengenakan celana jins, agar benar-benar mirip.

 

Terbata-bata ia berjalan dengan memegang tongkat. Padahal antara dia berdiri dengan tempat duduk hanya perlu sekitar delapan langkah kecil. Namun, lamban sekali.

 

Telponnya berbunyi dengan nada dering Coconut. Sangat keras sekali, hingga semua orang di ruangan pun menoleh padanya. Ia pun berusaha memencet tombol berwarna hijau.

 

"Iya Dek, saya sudah daftar, sedang antri ini," katanya sembari menutup telpon.

 

Suaranya parau sekali, apakah karena tangannya gemetar jadi suaranya yang parau pun ikut bergetar. Ntahlah.

 

Aku hampiri kakek itu. Aku bantu dia berjalan, hingga bisa duduk di kursi. Kami pun duduk berdampingan tapi tidak dekat. Kami dipisahkan oleh lembaran bertuliskan 'Jaga jarak. Jangan Duduk Disini', lengkap ada tanda silang.

 

Ia pun menyampaikan terima kasihnya kepadaku dengan nafas tersengal-sengal. Ku perhatikan dia, seperti orang lari cepat 50 meter, nafasnya cepat.

 

"Sudah tua ini nak, jalan segitu saja sudah ngos-ngosan nafasnya," katanya.

 

"Tapi kakek hebat," jawabku sembari kuselipkan senyuman manis. Walaupun tak tampak, karena kami mengenakan masker.

 

Tepat di belakang kami, seorang kakek tua dengan kemeja kaos berwarna merah bata duduk memegang map kuning. Ia pun memegang tongkat berkaki. Badannya gumpal, tegap, kulitnya gelap.

 

Ia tampak sangat sibuk memasukkan lembaran-lembaran foto kopi. Sekilas ku lihat tampak foto kopi KTP, KK, dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

 

Beberapa lembar KK tampak berceceran. Aku bantu memungutnya. Kakek itu mengucapkan terima kasih sembari sibuk memasukkan kertas itu, dan kembali merogoh-rogoh map kuning.

 

"Kakek cari apa?," kataku iba.

 

"Kakek cari kertas kecil pendaftaran warna kuning, terus  juga sama resep obat," katanya sembari sibuk mencari di map kuning.

 

"Sini kakek, saya bantu cari," dia pasrah, memberikan map kuningnya padaku.

 

Aku coba melihat dan membaca setiap lembaran kertas yang ada di map kuning yang tertulis bagian depannya ' Berkas Kesehatan Sutarjo'.

 

Suara apoteker terus terdengar sayup-sayup memanggil nama pasien. Sementara keluarga pasien, perlahan memenuhi panggilan dan berlalu membawa obat. Ada yang masih harus kembali menuju petugas kasir, yang lokasinya berhadapan dengan tempat pengambilan obat. Mereka menyerahkan kertas. Ntah, kertas apa itu.

 

"Nak, gimana? Ketemu?," kata kakek itu.

 

"Ini ya Kek, atas nama Sutarjo. Betul ya? Kertasnya warna kuning. Ini masih distaples jadi satu dengan resep obat," kuberikan kertas itu.

 

Kakek itu pun bergegas hendak meletakkan resep obat di keranjang yang berisi tumpukan resep obat peserta lainnya. Tapi, aku tak kuasa melihat kakek itu, ku ambil kertas itu dan ku bantu meletakkan resep obat tersebut

 

"Terima kasih ya nak. Begini kalau hidup sendiri," katanya.

 

"Iya kek, sama-sama. Nanti kakek tinggal menunggu panggilan ya," pintaku.

 

"Nduk ini sejak tadi nunggu antrian apa?, " jelasnya yang mungkin merasa aneh karena aku pun sudah tampak lebih lama darinya duduk di kursi antrian.

 

"Saya sedang mengantar adik saya kek, tadi ke dokter THT. Tadi antri masik ke dokter, sekarang antri obat. Sekarang dia sudah ku pinta pulang dulu, karena kepalanya pusing. Sementara saya masih menunggu antrian obat," jelasku.

 

Kakek berjaket jins seperti Koes Plus pun nimbrung dengan percakapan kami. Ia mencondongkan sedikit badannya ke arah kami. Tak berkata, hanya menyimak.

 

"Kalau kakek sendirian nduk. Tadi naik becak kesini.  Kakek sungkan mau minta tolong, jadi kakek berangkat sendiri," jelasnya.

 

Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa. Karena jika ku tanya, aku khawatir justru terlalu masuk ke dalam kisah pribadinya.

 

"Kakek hidup sendiri, setelah istri kakek meninggal. Makanya sekarang apa-apa kakek lakukan sendiri," katanya.

 

"Wah, kakek hebat ya. Masih kuat sekali, melakukan semuanya sendiri," ucapku. Dengan harapan ucapan itu bisa memberinya semangat.

 

Kakek Sutarjo membuka maskernya, dan tampak ia tertawa. Beberapa giginya yang tanggal karena dimakan usia pun jelas terlihat.

 

"Kakek ini usianya sudah 63 tahun nduk. Tapi kakek olahraga terus, setiap pagi jalan kaki, kadang lari. Ini tetiba pagi tadi kaki kakek sakit. Makanya kakek pakai tongkat tiga kaki," katanya.

 

"Apa kakek ada riwayat asam urat?," tanyaku penasaran.

 

"Iya nduk. Ini pasti karena kakek kemarin makan tumis kacang panjang. Banyak kemarin kakek makannya. Bangun-bangun kaki kakek sakit. Ini periksa, dikasih obat," jelasnya.

 

Sudah 1,5 jam aku menunggu antrian obat. Jika dihitung dengan antrian saat menunggu dokter, maka genap dua jam sudah aku duduk.

 

Duduk di antara lalu lalang keluarga pasien, maupun pasien yang sedang antri untuk periksa ke dokter THT, dokter kandungan, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis mata. Termasuk, yang sedang antri obat, antri ke kasir.

 

Sejak tadi, aku mendengar sayup-sayup suara orang-orang. Sesekali ku dengar rintihan karena menahan pusing kepala.

 

Bercampur pula dengan suara orang yang bertanya  sudah antrian ke berapa. Terdengar juga, suara seorang petugas yang menjelaskan persyaratan pendaftaran rawap inap pada seorang nenek tua, yang sepertinya suaminya adalah korban kecelakaan.

 

"Di sini semua terdengar. Suara kesedihan, rintihan sakit, kebingungan, marah,  keluhan badan lelah. Ya, namanya rumah sakit ya nduk," kata Kakek Sutarjo yang mengaburkan lamunanku saat melihat sekeliling yang begitu ramai mengantri.

 

Aku hanya tersenyum.

 

"Ada yang datang sendiri meski terbata-bata. Ada yang datang bersama keluarga. Ada yang sedang memeluk anaknya karena tak tahan menahan sakit,"  lanjut Kakek Sutarjo.

 

"Iya kek,

 

"Rumah sakit ini seperti rumah mata hati. Karena di tempat ini kita bisa tahu tentang keluarga, sahabat, kerabat. Bisa paham bahwa kita tak bisa hidup sendiri. Beruntung sekali mereka yang dipeluk erat oleh anaknya, diperut erat oleh kerabatnya," kata Kakek Sutarjo.

 

Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ia menundukkan kepala, seolah ingin menutup kesedihannya kepadaku.

 

"Yang sabar ya kakek. Mudah-mudan kakek sehat selalu, jadi tak perlu datang kesini. Kakek jaga makanan ya, agar tak perlu datang kesini lagi," hiburku.

 

"Benar nduk. Nduk juga ya, mumpung masih muda. Jangan terlena main-main, harus disiapkan dari sekarang. Nanti banyak-banyaklah anak, belum menikah kan ya?," tanyanya padaku.

 

"Belum kek.. Kakek sepertinya nama adikku audsah disebut. Aku permisi dulu ya kek, terima kasih kakek," kataku sembari ku berlalu menuju tempat pengambilan obat.

 

Bondowoso, 18 Agustus 2021

Ocha Ari Pangistu

Jumat, 13 Agustus 2021

 

Aku Butuh

 

“Baiknya jika kita hendak menjalin hubungan jangan pernah berpikir untuk mencintai. Tapi sebaiknya, jadilah orang yang dicintai. Sungguh, itu akan membuatmu jauh perkasa, gagah, dan berharga,”.

Semula aku hanya menganggukkan kepalaku setiap kali mendengar orang-orang mengatakan kalimat itu. Tanpa tau apa maknanya. Hingga saat  aku menikmati takdir yang Tuhan tulis di lembaran Lauful Mahfuds atas namaku, Maharani Dewi Setia Ningsih. Di lembaran-lembaran yang konon tak satu pun bisa mengubahnya itu, tertulis aku yang bertemu dan menjalin cinta dengan seorang lelaki berduri namun bersayap.

Seringkali, dia membawaku terbang hingga ke langit ke tujuh dengan sayapnya, dan tak jarang pula dalam perjalanan itu, durinya mengenaiku. Tapi anehnya, sekalipun duri itu mengenaiku, yang kurasakan adalah kekuatan super power yang terasa begitu hangat dan lembut. Itukah karena mungkin aku yang sejak awal menjadi seorang penanam modal. Penanam modal ceroboh yang tak pernah mengukur terlebih dahulu, berapa yang harus dikeluarkan untuk bisa memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Atau setidaknya tau lebih dulu, kepada siapa dan dimana hendak berinvestasi. Agar di kemudian hari tak lantas akan sering berulang kali bertanya, “Adilkah ini ?”

Meski demikian, Aku tak berani mengatakan semua itu sebagai kebodohan. Aku lebih senang menyebut itu adalah kebutuhanku. Ntah bagaimana aku menolaknya, tapi sungguh benar, sekali pun tampak seperti menganiaya diri, tetap dengan lantang aku katakan, “That is what I need”.

Aku berani menyebut itu sebagai apa yang aku butuhkan, karena Ibundaku pernah berkata padaku “Tak pernah ada seorang pelaut yang handal hanya dilahirkan dari ombak yang biasa saja.”

Dialogku tak pernah terhenti hanya dengan berisi satu nasihat jika berbincang dengan Ibundaku. Dia adalah wanita yang selalu sok berani, sok kuat, dan sok-sok yang lain. Padahal aku tahu benar, Dia adalah manusia pertama di muka bumi yang mengeluarkan air mata dan menjadi rapuh seketika, manakala aku terluka.

“Wanita tak pernah sekuat itu saat telah berbentur dengan cinta,” kataku pada Ibunda.

“Tapi ingatlah pada Tan Malaka, : Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk,”  sahut Ibunda.

“ Aku tak ingin terbentuk karena benturan, benturan, benturan cinta. Itu terlalu naif,” kataku sembari mengusap air mata yang tak henti menetes di pipiku.

Dia tak menyaut. Sesaat hanya pergi berlalu. Kemudian kembali dengan membawa sebuah handphone yang kemudian dia putarkan lagu, dari Sandy Canester berjudul “Cemburu”. Namun anehnya, dia hanya mengulang-ngulang lagu itu dibagian ini :

Ku cemburu - bila kau dengannya - Ku cemburu - kar’na kau adalah sebagian - dari hatiku”

“Aku tak paham,” lirihku di hati. Sementara, saatku bertanya ibuku hanya menjawab,

“Kau butuh ini. Dia pun butuh ini. Perpisahan kalian karena kecemburuan yang teramat besar. Karena kecemburaan yang ketika langit dijunjung sekalipun tak akan mampu kau membayarnya. Kecuali kau membayar itu dengan kembali.”

Hening . . .

Aku berusaha memahami pesan yang diakhiri dengan keheningan itu berbulan-bulan. Tak kutemui jawabnnya. Hingga, saat seorang teman datang padaku dengan pelukan dan air mata. Barulah, ku paham apa kata ibuku.

Aku pun tak lantas sok kuat, seperti ia, bundaku yang selalu mengatakan kenyang saat dirinya sebenarnya sedang lapar demi diriku.

Aku setuju. Iya, pada akhirnya. Bukan saat itu pula. Bukan saat, seorang, dua orang, tiga orang. Bukan saat sehari, dua hari, atau sebulan, dua bulan. Melainkan tiga hingga empat tahun. Setelah kulewati hati-hati yang hanya menjadi pemanis saja.

Kini, ya kuakui sebagai manusia – Aku takut dengan rasa sakit, tapi aku membutuhkan rasa sakit -.

Tak semua wanita lantas memiliki pemikiran yang sama denganku. Ada sebagian yang justru menyebut bahwa mata haruslah dibayar dengan mata. Mungkin bisa jadi mayoritas wanita yang aku kenal, dan berada di sekitarku pun memiliki pemikiran demikian. Semacam paham tapi tak mau mengerti.

Namun kembali lagi, kami para wanita terlahir dari rahim berbeda, tumbuh di lingkungan yang berbeda, dan diasuh oleh tangan yang juga berbeda. Makanya walaupun berada di jalur yang sama belum tentu bisa menjadi serupa.

Aku pernah ditanya, kenapa kemudian rasa sakit itu kau sebut sebagai kebutuhanmu. Bukankah kita semua tahu, andai setiap manusia di muka bumi ini bisa memilih, pastilah tak satu pun akan memilih kesulitan, rasa sakit, dan penderitaan. Semuanya akan memilih senang.

Sederhana saja yang aku pikirkan, bahwa untuk menjadi api, aku butuh korek, kayu bakar, dan minyak tanah. Untuk menjadi kuah sop, aku butuh kentang, wortel, gubis, bumbu-bumbu, dan lainnya. Dan untuk memperbaiki kain sobek sekali pun, aku butuh benang dan jarum.

Rasa sakit dari mana pun datangnya, menurutku, adalah kebutuhanku. Yang di kemudian hari barulah aku sadari akan ada kata “Untungnya” untuk aku menjalani hidup yang tak tahu kapan akan berhenti berdetak untuuku. Karenanya, setiap satu kesulitan aku lalui, aku akan membuka instagramku, dan akan membaca sebuah puisi yang aku tulis sebagai caption untuk melengkapi photo manis di sebuah Pemandangan.

 

Kalau Aku lari ke pantai

Maka (katanya) akan bisa bertemu dengan kisah romantisme kebodohan

Tapi,

Kalau Aku lari ke hutan

Maka (katanya) akan bisa bertemu dengan liarnya kebutaan pikiran

Jika aku lari pada keduanya

Tak ada yang bisa menjelaskan

Jika kau tak lari pada keduanya

Maka (katanya) hanya ada penyesalan

Benarkah ?

Aku pun terkatup

Menunggu senja di ujung jalan

Sembari memikirkan pilihan lain

Kecuali kenyataan bahwa sembabku (katanya) juga pilihan

Padahal aku punya pikiran sendiri

Aku lambaikan tangan

Senyum kepuasaan

Sembari berkata kecil dalam hati

“Aku tau Kau rindu”

 

 

Bondowoso, 13 Agustus 2021

Ocha Ari Pangistu